Oleh. Paul SinlaEloE
Kemerdekaan.
Itulah kata dan atau suasana yang selalu ada dibenak dan impian setiap
orang atau masyarakat yang sementara mengalami ketertindasan. Begitu
juga yang dialami oleh bangsa Indonesia ketika masih ditindas oleh
bangsa kolonial. Hal ini dapat dimaklumi karena secara harfiah,
kemerdekaan itu sendiri bermakna kebebasan atau lepas dari ikatan dan
kungkungan. Kini, kemerdekaan Indonesia genap berusia 65 tahun tepatnya pada tanggal 17 Agustus 2010.
Ironinya,
di tengah bangsa yang merdeka ini justru tengah berlangsung sejarah
penindasan bangsa, dengan bentuk yang berbeda dari sebelumnya. Sebuah
penindasan atas nama negara oleh bangsa sendiri terhadap rakyatnya.
Pada saat semua pihak lagi sibuk dengan kegiatan perayaan ulang tahun
kemerdekaan Indonesia, disaat yang bersamaan pula terjadi penindasan
atas nama agama yang mengkalim diri mayoritas, membakar tempat ibadah
dari agama lain yang dikira minoritas.
Sejarah
juga mencatat selama kurun waktu yang tidak singkat, realitas
ketertindasan dan kemiskinan telah menjadi bagian integral bangsa ini.
Namun, satu hal yang menggembirakan, sejarah juga menulis bahwa selama
bangsa ini dijajah, muncul beragam bentuk perlawanan rakyat sebagai
upaya untuk membebaskan bangsa ini dari ketertindasan Anehnya, mental
perlawanan dan pembebasan yang telah terbangun jauh sebelum kemerdekaan
tersebut, justru lenyap ketika rakyat tengah menghadapi penjajahan baru
pasca-kemerdekaan ini. Sehingga, segala bentuk penindasan di negeri ini
justru semakin lestari dan subur sampai hari ini.
Secara
konseptual, penindasan sebenarnya dapat dikategorisasi ke dalam dua
bagian. Pertama, ketertindasan struktural. Ketertindasan oleh struktur
yang berada di luar diri orang yang tertindas ini telah mengakibatkan
kemiskinan struktural. Pada konteks Indonesia, kemiskinan struktural ini
selain ditengarai oleh kebijakan yang tidak bijak dari para pemegang
kebijakan, juga ditopang oleh kondisi struktur atau tatanan kehidupan
bernegara yang tidak menguntungkan pada kepentingan rakyat tertindas.
Dikatakan tidak menguntungkan karena kehidupan bernegara di Indonesia
tidak hanya melahirkan kemiskinan tetapi juga melanggengkan kemiskinan.
Tatanan
kehidupan bernegara yang tidak menguntungkan akibat perlakuan negara
yang korup, tidak adil, diskriminatif dan eksploitatif ini, telah
menyebabkan banyak warga massa-rakyat yang gagal memperoleh peluang dan
atau akses untuk mengembangkan dirinya serta meningkatkan kualitas
hidupnya. Bahkan mereka yang malang semakin terjerumus dan terjebak
dalam kehidupan yang serba berkekurangan atau tak setara dengan tuntutan
hidup yang layak dan bermartabat sebagai manusia. Fakta penindasan
dalam konteks struktural ini senantiasa terjadi setiap harinya di
pelupuk mata para petinggi agama yang diduga lebih berpikir tentang
indahnya surga, pada hal belum tentu mereka itu lulus dalam ujian
duniawi.
Kedua,
ketertindasan mental. Ketertindasan semacam ini lebih disebabkan oleh
faktor dalam diri kaum yang tertindas itu sendiri. Di satu sisi, faktor
ini menjelma menjadi sebuah ketidaksadaran akan ketertindasan. Di sisi
lain, dapat pula menjelma berupa apa yang disebut oleh Paulo Freire
dalam bukunya Pedagogy of the Oppressed sebagai kesadaran magis,
yakni sebuah anggapan bahwa ketertindasan dan kemiskinan tersebut adalah
sebuah jalan hidup yang harus diterima dengan lapang dada. Sehingga,
pada bagian ini, mereka yang tertindas cenderung menikmati
ketertindasannya. Inilah yang dalam istilah sosiologi disebut sebagai “desublimasi represif”, yaitu sebuah kondisi di mana kaum tertindas tidak menyadari, bahkan cenderung menikmati ketertindasan yang menimpanya.
Apabila
dilacak ke akar filosofisnya, maka pendapat dari Zulfan Barron (2004)
bahwa faktor agama adalah salah satu variabel dominan yang membentuk
mental para penindas dan kaum tertindas, ada benarnya. Betapa tidak,
kekuatan transendental yang adalah kekuatan dari luar manusia yang telah terlembaga dalam sebuah pemahaman teologi masyarakat,
ternyata berpengaruh signifikan bagi pembentukan perilaku dan gaya
hidup manusia. Juga tidak dapat dipungkiri, hal itu telah menghantarkan
mereka kepada gaya hidup yang pasrah pada nasib (gaya hidup yang fatalistik).
Sehingga, pesan keadilan, perdamaian dan pembebasan yang dibawa oleh
agama, telah menjelma menjadi alat penindas. Pada kondisi semacam
inilah, statemen Karl Marx yang mengatakan bahwa agama adalah candu
masyarakat (Religion is Opium of the People) yang telah menjelma menjadi alat penindas, menemukan relevansinya.
Bertolak
dari kenyataan di atas, sudah seharusnya agama-agama pada umumnya dan
khususnya gereja dapat berperan maksimal, terutama dalam mereformasi
dirinya. Secara internal, gereja harus menghilangkan tradisi
patriakhal dan menjadi gereja yang berasal dari dan untuk semua orang.
Secara eksternal, gereja harus menjadi suatu kekuatan yang efektif yang
mewakili pemahaman mengenai kerajaan Allah dalam sejarah, melalui suatu
kritik terhadap pengilahian ekonomi, social dan budaya dan melalui
mandat pemuridan yakni keadilan dan cinta yang spesifik/khas. Dengan
perubahan seperti inilah gereja diharapkan mampu menjadi kekuatan
perubahan dan transformatif-progresif atau menjadi gereja yang
membebaskan.
Gereja
yang membesakan merupakan suatu perkumpulan mesianik dalam masyarakat,
yang membangun persekutuan dengan dua sisi sejarah, yakni dari
penderitaan dan pembebasan. Penderitaan, dalam
aspek moralnya, merupakan dosa sosial oleh tradisi bernegara yang
menguntungkan beberapa orang, sementara sebagian lainnya tertekan dan
mengalami dehumanisasi. Jürgen Moltmann yang
merupakan salah seorang dari para penganjur teologi politik,
melambangkan penderitaan dalam masyarakat kontemporer dalam lima lingkaran setan kematian, yakni: (1). Kemiskinan
dalam bidang ekonomi. (2). Dominasi suatu kelas/bangsa terhadap lainnya
dalam kehidupan politik. (3). Struktur alienasi antara ras, gender,
kelompok etnis dalam hubungan kebudayaan. (4). Polusi industri di bidang
ekologi. (5). Ada perasaan dimana orang merasa diri tak berarti dan
kehilangan tujuan hidup.
Pembebasan
dari aspek sejarahnya, dilambangkan dengan kebangkitan Kristus. Pdt.
I.N. Frans dalam berbagai percakapannya dengan berbagi kelompok
tertindas selalu mengatakan bahwa kebangkitan Kristus merupakan
perwujudan dari harapan akan suatu kehidupan yang lebih sempurna, dimana
berbagai kehidupan masa lalu yang tidak beradab dan tidak bermoral
ditinggalkan. Pada tataran yang lebih operasional, Johannes Baptist Metz
memaknai pembebasan atau kebangkitan Kristus sebagai suatu panggilan
untuk memihak kepada orang-orang yang diabaikan dan yang dikorbankan dan
untuk mulai mengikutsertakan mereka dalam praktek yang emansipatif
dalam kehidupan sehari-hari yang membebaskan.
Gereja
yang membebaskan, biasanya akan hadir sebagai bentuk refleksi juga
kontemplasi orang-orang yang diperhadapkan dengan berbagai pergumulan
konteks. Kemiskinan, penindasan, ketidakadilan dan lain sebagainya,
adalah persoalan konteks yang hampir selalu mewarnai kehidupan manusia
di manapun berada. Untuk melawan para penindas yang menindas kaum
tertindas, gereja yang membebaskan juga akan tampil dengan nilai-nilai
kekristenan yang merupakan pengejawantahan dari karya agung Yesus
Kristus, baik pelayanan, pesan, penderitaan, kematian dan
kebangkitan-Nya. Karena, keseluruhan karya Agung Yesus itu adalah dalam
usaha yang tulus dan murni sebagai bentuk cinta Allah untuk suatu
kemerdekaan yang holistik.
Pada
akhirnya, perayaan HUT Kemerdekaan RI ke-65, tepatnya tanggal 17Agustus
2010, boleh dikatakan hanyalah sebuah ritual kenegaraan saja karena
kemerdekaan yang holistik ini seakan sebuah impian yang masih jauh dan
semakin menjauh untuk diraih. Ini tidak berarti kemerdekaan yang
holistik itu tidak dapat diraih. Bagi umat kristen (paling tidak saya)
sendiri, kemerdekaan yang holistik bisa diwujudkan. Caranya...?? Gereja
melalui misi pembebasannya harus dapat lebih mengasihi orang lain dan
melalui kasih itu, gereja akan melayani mereka sebagai seorang hamba dan
pada saat yang bersamaan gereja akan menjadi tuan yang benar-benar
bebas dari segala perhambaan. MERDEKA…??? (Tulisan ini Pernah di Publikasi Dalam Berita GMIT, Edisi Agustus 2010, Thema:”Anatara HUT RI dan Gereja Yang Membebaskan”).
-------------------
Penulis:
Sekretaris Bidang Informasi dan Jaringan BPP. GMIT Periode 2008 – 2012
Sekretaris Bidang Informasi dan Jaringan BPP. GMIT Periode 2008 – 2012
0 comments:
Posting Komentar