Oleh. Paul SinlaEloE
Setiap tanggal 25 Desember,
umat Kristiani di seluruh dunia secara iman merayakan Natal. Bagi orang
kristen, natal merupakan kesukacitaan karena lahirnya Yesus Kristus Sang Juru
Selamat, yang akan membebaskan manusia dari dosa. Karenanya, perayaan untuk memaknai Natal selalu dilakukan dengan berbagai aktifitas. Mulai dari
ibadah pohon terang, tukaran kado natal, kegiatan diakonia karitatif, sampai
dengan kunjungan rumah untuk saling memaafkan. Moment perayaan untuk memaknai
Natal, juga sering dipakai untuk melobby jabatan dan atau proyek serta
konsolidasi politik untuk pemilihan umum dan pemilihan kepala
daerah. Bahkan perayaan natal juga sudah di jadikan lahan bisnis yang bersifat
musiman.
Dengan aktifitas perayaan Natal yang demikian, maka tidaklah mengherankan apabila hampir setiap rumah tangga Kristen pasti mempunyai pengeluaran ekstra dalam menyambut Natal. Banyak orang Kristen yang cenderung mempersiapkan atribut Natal, simbol Natal dan hidangan Natal, agar Natal kelihatan fenomenal dan gegap gempita. Seolah Natal sudah identik dengan pesta, kado dan kemeriahan. Hal ini dapat dimaklumi karena perayaan Natal dimaknai hanya untuk memeriahkan hari Natal atau hari kelahiran Yesus Kristus. Natal sudah menjadi sebuah musim dan bukannya moment. Dampaknya, banyak orang kristen yang setelah merayakan Natal tetap saja tidak memiliki keyakinan akan kehidupan yang kekal.
Dalam Alkitab telah tertulis dengan jelas arti
penting dari Natal atau kelahiran Yesus Kristus, yakni: “Karena Allah
sedemikian mengasihi isi dunia ini, sehingga Ia telah memberikan AnakNya yang
Tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepadaNya tidak binasa, melainkan
beroleh hidup yang kekal.” (Yohanes, 3:16). Keselamatan dan hidup kekal, sesungguhnya merupakan anugerah yang sangat berharga yang tidak mungkin dapat dibeli dengan uang
atau dicapai dengan kemampuan manusia. Hidup kekal tersebut, juga tidak dapat
diberikan oleh agama dan keyakinan apapun, selain dari Allah melalui Yesus
Kristus.
Yesus Kristus pernah berkata, “Ia telah mengurapi Aku untuk menyampaikan kabar baik bagi orang-orang miskin dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebasakan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.” (Lukas 4:18-19). Untuk itu, Natal seharusnya dimaknai sebagai moment. Moment untuk menyampaikan SYALOM ALLAH dan SALAM PEMBEBASAN bagi semua orang termasuk orang miskin, kelompok marginal tanpa membedakan Agama, Suku dan Ras.
Sejalan
dengan itu, dalam Lukas 2: 11 juga diwartakan, “Hari ini
telah lahir bagimu Juru Selamat, yaitu Kristus, Tuhan di Kota Daud.” Jika kabar baik ini
direnungkan, maka Siapakah
orang-orang yang mendapatkan kehormatan untuk melihat malaikat-malaikat dan
mendengar nyanyian mereka pada saat Yeses Kristus lahir? Mereka bukan
orang-orang yang berpendidikan, bukan juga orang-orang yang kaya raya. Tidak
ada orang-orang seperti Raja Herodes atau para Imam Besar. Tetapi, Allah
memilih para gembala yang nota bene adalah orang-orang miskin..??? Mengapa juga
Allah memilih untuk Yeseus Kristus dilahirkan di kandang domba, Betlehem dan
bukannya di istana Herodes…?? Apa makna dari semua itu..??
Kelahiran Kristus di kandang domba yang kumuh dan
tidak punya apa-apa, merupakan wujud solidaritas dan kepedulianNya terhadap
orang miskin, terbuang, termarginalkan, terpinggirkan dan yang dianggap sebagai
sampah masyarakat. Peristiwa kelahiran Yesus Kristus di Betlehem, Kota Daud,
yang jauh dari Yerusalem
tempat dimana istana Herodes berada, seharunya dapat mengingatkan
setiap orang percaya akan tugas dan panggilan sebagai diakonos untuk mengadakan
perubahan karena perubahan tidak akan datang dari “istana” atau pusat kekuasaan.
Ada satu berita yang “tersimpan” untuk “istana” atau
pusat kekuasaan pada saat kelahiran Yesus, dan baru
diserukan menjelang Ia berkarya. Berita itu berbunyi : “bertobatlah sebab
Kerajaan Allah sudah dekat”. Yohanes Pembaptislah yang menyerukan berita itu.
Berita ini sebenarnya sudah mulai bergema pada saat kelahiran Yesus menohok
keangkuhan sang Herodes. Keangkuhan itu menyebabkan ia lupa diri dan
mengeluarkan keputusan yang kejam. Membunuh anak-anak di seluruh negeri.
Kelahiran Yesus mengajak Herodes untuk “meneliti” diri, namun Herodes terlalu
angkuh untuk itu. Ia lebih suka memenjarakan diri dalam keangkuhan, walaupun ia
pada akhirnya harus menerima kenyataan, kalah dengan bayi Yesus. Ia tidak
berhasil membunuh bayi Yesus. Kelahiran bayi itu sebenarnya secara tidak
langsung “membunuh“ keangkuhan dan kesombongan Herodes.
Sejak Yesus lahir sampai saat ini, ribuan tahun
pasca kelahiranNya, seruan pertobatan untuk menyambut karya Yesus dan
penderitaan dunia, apakah yang bisa disombongkan? Yesus tidak bergerak dari “Kemahakuasaan“
atau “kehebatan-Nya”, melainkan Ia bergerak dari “kepasrahan” dan kertidak
berdayaan seorang bayi melawan tirani Herodes manuju pada “kepasrahan” itu
tersimpan kekuatan kebenaran yang menghancurkan kesombongan dan tirani. Kelak,
ketika Yesus dewasa Ia membahasakan hal itu dengan sebutan “kasih”.
Yesus lahir untuk menghadirkan pembaharuan bagi
manusia. Setiap pribadi yang mengimaninya, diajak untuk melaklukan hal yang
sama. Menghadirkan kasih yang menghancurkan kesombongan akan kekuasaan diri.
Kesombongan dan kekuasaan hampir selalu menyerupai ke[ping mata uang dengan dua
sisi. Secara dasariah, di dalam diri manusia senantiasa tersimpan keinginan
untuk berkuasa karena dengan berkuasa ia bisa mengendalikan sesuatu menurut
keinginannyan. Tentu hal itu sangat menyenangkan bagi manusia, sampai Friedrich
Nietzsche (seorang pemikir Jerman) berteriak bahwa sesuatu yang tidak dapat
dilupakan manusia adalah “keinginan untuk berkuasa”. Orang yang beriman kepada
peristiwa kelahiran Yesus paling tidak dapat mengimbangi Nietzsche dengan
berteriak bahwa sesuatu yang tidak boleh tidak harus ada di dalam diri manusia
adalah “keinginan untuk mengasihi”. Kalaupun Yesus dikatakan memiliki
kekuasaan, maka kekuasaan Yesus dipupuk dengan kasih dan pengorbanan diri,
bukan dengan kesombongan dan keinginan untuk berkuasa.
Pada
akhirnya, di moment Natal dan atau kelahiran Yesus Kristus ini, seharusnya
setiap umat kristen tidak perlu sombong, serakah dan harus rendah diri sehingga
dapat mempersiapkan hati untuk kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi,
dan damai sejahtera di bumi di antara manusia. Karena “...Kerajaan Allah
bukanlah soal asesoris, makanan dan minuman tetapi soal kebenaran, damai
sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus.” (Roma 14:17). HAPPY BIRTHDAY YESUS
KRISTUS..!!! (Tulisan ini pernah
dipublikasikan dalam Harian Umum Victory News, tanggal 27 Desember 2013).
-------------------------------
Penulis: Koord. Divisi Anti Korupsi PIAR NTT
0 comments:
Posting Komentar