Disalin
dari : Tulisan Jimmy Setiawan.
Martin
Luther (1483-1546)
Siapa
yang tidak kenal Martin Luther? Sang Reformator besar di samping Calvin dan
Zwingli yang populer dengan julukan tiga serangkai. Para ahli sepakat bahwa
Luther adalah epitom dari gerakan Reformasi. Tentunya, ini tidak mengecilkan
jasa Reformator lainnya yang telah dipakai Allah secara luar biasa pada
masanya. Namun pemberian predikat khusus ini setidaknya karena dua alasan.
Pertama, Lutherlah yang pertama kali paling serius menekankan reformasi
teologis, dimana menuntut perbaikan mendasar dalam ajaran gerejawi, ketimbang
reformasi dalam aspek moral maupun institusional sebagaimana yang ditekankan
Reformator sebelumnya. Luther melihat perubahan praktik dan moral hanyalah
mungkin jika ajaran iman kepercayaan dibenahi dahulu. Kedua, tak pelak lagi,
Luther adalah Reformator yang paling berpengaruh bagi tokoh sezaman dan
sesudahnya. Bahkan Calvin dan Zwingli pun berhutang inspirasi dari perjuangan
dan ajaran Luther.
Sebenarnya,
sudah ada beberapa buku berbahasa Indonesia yang cukup bagus untuk kita
mempelajari khususnya ajaran Martin Luther. Sebagai pengantar yang baik, kita
dapat memulai dengan buku "Sejarah Pemikiran Reformasi" karangan
Alister E. McGrath yang klasik itu (diterbitkan oleh BPK Gunung Mulia). Tulisan
ini hanyalah berusaha melengkapi "lubang" dalam banyak buku berbahasa
Indonesia yaitu kisah hidup Martin Luther yang utuh. Mengikuti riwayat Luther
akan mengantar kita pada pemahaman yang lebih empatis bahwa sosok besar dan
perjuangannya merupakan hasil sebuah proses yang panjang dan manusiawi. Luther
yang kita kenal sekarang adalah Luther yang telah melalui pelbagai ujian berat
dalam hidupnya. Allah dalam kemurahan dan kuasa-Nya telah memakai Luther
menjadi salah satu tokoh agung yang mengubah wajah sejarah manusia sampai detik
ini. MASA PRA LUTHER Ilmu sejarah mengajarkan bahwa suatu peristiwa biasanya
merupakan reaksi (anteseden) dari peristiwa lain yang mendahuluinya (preseden).
Demikian pula, gerakan Reformasi adalah reaksi atas kondisi yang sudah ada.
Secara umum, kondisi pendahulu yang membidani kelahiran gerakan Reformasi bisa
ditarik ke beberapa abad sebelumnya. Bila diringkas, ada tiga kondisi yang
paling berpengaruh. Pertama dan terutama adalah kebobrokan gereja baik dalam
ajaran maupun praktiknya yang memang menjadi sasaran kritik Reformator.
Kerusakan gereja masa itu sudah begitu memalukan, dan telah berlangsung sekian
abad. Terutama selama Abad Pertengahan, gereja telah melupakan warisan
pengajaran yang Alkitabiah sejak zaman para rasul dan bapa gereja mula-mula.
Sebagai gantinya, gereja menelurkan pelbagai ajaran, aturan dan pandangan yang
tidak lagi bersumber pada Alkitab seperti aneka sakramen, absolutisme kepausan,
doa arwah, api penyucian jiwa (purgatori) dan sebagainya. Kerusakan gereja
signifikan lainnya adalah kerusakan struktural yaitu pada lembaga kepausan.
Pusat pemerintahan gerejawi ini justru marak cacat cela selama beberapa
generasi kepausan. Sebut saja: ada Paus yang mempunyai selir dan anak di luar
nikah, Paus yang menghamburkan uang gereja untuk memuaskan hobi berpesta, Paus
yang membeli jabatan dengan uang, Paus yang terlibat dalam pelbagai pembunuhan
orang tak berdosa, Paus yang materalis dan sebagainya. Memang ada beberapa Paus
yang bagus, namun tampaknya tak cukup untuk menyelamatkan reputasi kepausan
yang kadung cela. Sampai akhirnya diperburuk dengan peristiwa "Skisma
Besar" dalam tubuh gereja antara tahun 1378 - 1417. Selama hampir
tigapuluh tahun, kepausan diperebutkan oleh beberapa pihak yang saling
mengklaim sebagai Paus yang sah. Kelak, sejarah kepausan yang kelam ini menjadi
dasar penolakan para Reformator terhadap absolutisme kepausan yang menganggap
Paus tidak bisa salah (infabilitas). Kerusakan struktural ini menular ke
jenjang gereja lokal di hampir seluruh Eropa. Data sejarah membuktikan begitu
banyak pejabat gereja lokal yang sama bobroknya. Gereja dipenuhi dengan
perebutan kuasa antara elit politik maupun orang kaya. Saat itu, jabatan
gerejawi begitu menggiurkan karena bersifat politis. Jabatan penguasa gereja
juga memiliki fasilitas khusus seperti pembebasan pajak. Lambat laun, jabatan
gereja diisi oleh orang-orang yang jauh dari kompeten. Absolutisme kepausan pun
menjadi tameng bagi ketidakmampuan pejabat gereja. Ungkapan "Tergantung
Paus" menjadi lazim. Jika ada masalah muncul, maka pejabat gereja dengan
mudahnya berlindung di balik perintah dan petunjuk Paus. Bahkan dalam kasus
yang ekstrim, khotbah di misa lebih bersumber pada dokumen yang dikeluarkan
Paus ketimbang Alkitab sendiri. Kedua, kebangkitan humanisme yang merupakan
salah satu wujud semangat Renaisans. Mari kita berhati-hati dengan istilah
humanisme masa itu. Gamblangnya, humanisme masa itu adalah sebuah gerakan yang
mau kembali pada kejayaan dan kefasihan karya literatur Latin dan Yunani
(terutama kesusastraan) para penulis kuno seperti Plato, Aristoteles, Cicero,
Virgil dan lainnya. Ia tidak identik dengan pengagungan manusia secara
berlebihan yang berujung pada pengabaian Allah, sebagaimana kerap dimengerti
tentang humanisme masa kini. Memang, humanisme masa itu juga menyoroti
pentingnya aspek individual yang sebelumnya dilupakan. Namun penekanan ini
tidak sampai pada pengingkaran Allah. Bahkan banyak humanis ulung masa itu
sebenarnya seorang Kristen yang saleh dan taat, seperti Fransisco Petrarca
alias Petrarch (1304-1374), Kardinal Nicholas dari Cusa (1400-1464), Johann
Reuchlin (1455-1522), Kardinal Fransisco Ximenez (1436-1517) dan yang terbesar
di antaranya, Desiderius Erasmus (1466-1536). Sumbangan humanisme kepada para
Reformator dalam dua cara. Pertama, humanisme menularkan semangat untuk kembali
pada sumber-sumber asali (ad fontes). Oleh para Reformator, sumber asali
tersebut merujuk pada tulisan kuno dari para bapa gereja seperti Aurelius
Agustinus alias Agustinus dari Hippo (354-430). Dan konsekuensi akhirnya
kembali pada Alkitab bahasa asli, daripada Alkitab terjemahan seperti Alkitab
berbahasa latin (Vulgata) yang memiliki kesalahan penterjemahan. Kedua,
penekanan pada aspek individualisme mempengaruhi para Reformator untuk meyakini
bahwa Alkitab dan ajaran gereja harus dapat dipahami sampai pada tataran jemaat
awam. Pendapat bahwa jemaat awam harus dapat membaca Alkitab dalam bahasanya
sendiri begitu digemakan oleh Erasmus, yang juga mempengaruhi Luther dan
Reformator lainnya. Ketiga, peristiwa yang cukup besar artinya bagi gerakan
Reformasi adalah penemuan mesin cetak oleh Johann Gutenberg pada tahun 1454.
Percetakan menciptakan kemudahan yang sangat besar dan tak terbayangkan
sebelumnya bagi setiap orang untuk memperoleh literatur, termasuk menulisnya (baca:
menggandakan/mereproduksikan). Percetakan sangat menguntungkan para Reformator
dalam mempropagandakan ajarannya. Jika tanpa percetakan, tentu saja ajaran
Luther tidak akan begitu luas mempengaruhi banyak orang bahkan sampai lintas
negara. Di samping ketiga kondisi penting yang mendahului Reformasi, patut
disebutkan pula tentang kebangkitan rasa nasionalisme di kerajaan-kerajaan
Eropa terutama bagian barat dan utara. Bila sebelumnya, banyak bangsawan dan
kaisar yang secara politis bergantung pada Paus, maka sejak kira-kira akhir
abad ke-15, para pejabat negara dan kota mulai memperjuangkan otonominya.
Mereka ingin lepas dari pengaruh politis Vatikan. Konteks sosial politis inilah
yang dimanfaatkan oleh para Reformator. Hubungan antara Reformator dan penguasa
politik membuahkan hubungan yang saling menguntungkan. Di sisi Reformator,
mereka memperoleh perlindungan dari kejaran dan hukuman otoritas gereja Roma
yang memvonis mereka sebagai bidat. Di sisi penguasa politis, ajaran para
Reformator dipakai sebagai dasar non poilitis untuk lebih menunjukkan kelemahan
otoritas gereja masa itu, sekaligus untuk mendapatkan dukungan rakyat yang
memang bersimpati dan loyal kepada para Reformator. PERIODE AWAL KEHIDUPAN
LUTHER Periode awal ini terentang dari kelahiran Luther sampai saat
keputusannya menjadi rahib. Luther lahir pada tanggal 10 Nopember 1483, di kota
Eisleben, propinsi Saxony (sekarang wilayah Jerman). Martin adalah nama
baptisan yang diperolehnya karena hari pembabtisannya bertepatan dengan Hari
Santo Martin, pelindung kaum pengemis. Hans Luther, sang ayah, adalah seorang
pemilik beberapa tambang dan peleburan logam. Sedangkan ibunya, Margaretha
Luther, adalah seorang ibu rumah tangga yang sangat religius, dan kemungkinan
berperan besar dalam menanamkan benih iman kepada Luther kecil. Dalam
otobiografinya, Luther mengenang keduanya sebagai orangtua yang disiplin dan
keras dalam mendidik anak, tapi sekaligus ingin memberikan pendidikan yang
terbaik bagi anaknya. Sikap orangtuanya yang sangat menghargai pendidikan amat
berbekas pada diri Luther. Pada saat dewasa nanti, Luther memulai perjuangannya
dari lingkungan dan dengan metode akademis Pendidikan formal pertama Luther
diperolehnya di Sekolah Latin kota Mansfeld. Sebagaimana Sekolah Latin lainnya
pada masa itu, Luther belajar bahasa Latin yang membuatnya berkenalan dengan
kekayaan pustaka Latin. Juga musik dan agama. Luther belajar doktrin-doktrin
penting gereja. Luther remaja mengembangkan kepercayaan bahwa Allah pasti
menghakimi segala perbuatannya pada akhir zaman. Dan hanya berdoa kepada
Kristus, Maria dan para orang suci sebagai perantara maka akan beroleh rahmat
pengampunan dari Allah Bapa. Pada usia 14, Luther hijrah ke Magdeburg, masuk
Sekolah dari Katedral setempat. Hal yang perlu dicatat, Luther berjumpa dengan
ajaran beberapa pendidik yang merupakan anggota Persaudaraan Brethen.
Persaudaraan Brethen adalah salah satu kelompok aliran Kristen Mistik yang
memang cukup banyak menjamur sejak sekitar dua abad sebelum Reformasi.
Penekanan mereka pada hubungan yang akrab dengan Allah (devosi) melalui
pembacaan Alkitab dan doa pribadi. Ajaran mereka membentuk kesalehan Luther
yang akan mewarnai kehidupan Luther seterusnya. Setelah menempuh pendidikan pra
universitas di Eisenach, Luther masuk Universitas Erfurt, salah satu
universitas terbaik masa itu di Jerman. Perpustakaan Universitas Erfurt juga
dikenal cukup lengkap. Dapat dipastikan, Luther melahap habis pelbagai tulisan
penting baik dari Abad Pertengahan maupun sebelumnya di perpustakaan ini. Pada
tahun 1502, Luther merampungkan gelar pertamanya dalam Liberal Arts. Sambil
melanjutkan studi ke jenjang master, Luther mengajar di universitasnya dalam
bidang tata bahasa dan logika. Pada tahun 1505, Luther memperoleh gelar master.
Selama kuliah, Luther memiliki kerinduan yang besar untuk secara sungguh
mencari Allah dan mempelajari Alkitab, dia sempat terpikir untuk masuk ke biara
sebagai cara terbaik untuk memenuhi kerinduannya itu. Namun ayahnya menolak
keinginannya. Sang ayah menganggap jurusan hukum sebagai yang terbaik untuk
masa depannya. Dalam ketaatannya kepada orangtua, Luther masuk Universitas
Leipzig pada tahun 1505, dan tentunya mengambil jurusan hukum. Luther sama
sekali tidak bahagia dengan studinya. Pada tahun yang sama, Luther mengalami
suatu peristiwa penting yang mengubah jalan hidupnya secara drastis. Tepatnya
tanggal 2 Juli 1505, ketika itu, Luther sedang dalam perjalanan dari Mansfield
ke Erfurt. Dalam perjalanan itu, dia terjebak dalam hujan badai yang
menakutkan. Tidak jauh dari desa Stotternheim, beberapa mil dari Mansfield,
Luther dikejutkan oleh kilat yang menyambar di dekatnya. Tiba-tiba gambaran
akan kematiannya begitu nyata di depan matanya. Dia teringat akan dosa di masa
mudanya, dan pengadilan Tuhan seakan sudah di ambang pintu. Dalam ketakutan
yang sangat, Luther berdoa kepada Santa Anna. Dalam doanya, Luther bersumpah
bahwa seandainya dia dilepaskan dari marabahaya ini, maka dia akan menjadi
rahib selama sisa hidupnya. Dan dia pun berhasil lolos dari hujan badai itu.
Dua minggu kemudian, Luther dengan hati yang mantap, mengutarakan keinginannya
untuk menjadi rahib kepada para sahabat dan keluarganya. Sang ayah begitu marah
dengan keputusannya itu. Namun kali ini, Luther bergeming. Dia memenuhi kaulnya
dengan masuk biara Agustinian di Erfurt, meskipun harus melawan kehendak
ayahnya. SANG RAHIB YANG GELISAH Setelah dua tahun belajar sebagai calon rahib,
Luther ditahbiskan pada tahun 1507. Selama di Biara, Luther rajin menelaah
seluruh isi Alkitab. Konon, Luther hafal hampir seluruh Perjanjian Baru dan
beberapa bagian dari Perjanjian Lama. Luther menemukan bahwa begitu banyak
bagian dari Alkitab yang tidak pernah diceritakan dalam misa-misa reguler.
Luther mulai merasakan kejanggalan dari kebijakan gereja saat itu yang
membatasi pembacaan dan penafsiran Alkitab oleh para pejabat gereja saja,
jemaat awam sama sekali tidak diizinkan untuk membacanya. Suatu sistem yang
justru menjauhkan jemaat dari kekayaan Alkitab. Jika kita membayangkan Luther
sebagai tokoh yang selalu teguh hati sejak muda, maka kita salah. Awalnya,
Luther yakin bahwa dengan menjadi biarawan maka kegelisahannya tentang
penghukuman Allah akan sirna. Sebelum masuk biara, Luther menganut ajaran via
moderna yang sudah digemarinya sejak di Universitas Erfurt. Suatu modifikasi dari
ajaran kuno Pelagius (rival Agustinus). Menurut via moderna, Allah akan
memberikan anugerah kepada orang berdosa yang sungguh-sungguh mencari Dia.
Seolah, Allah telah berjanji akan mengaruniakan anugerah pengampunan sejauh
orang berdosa bisa mencapai syarat minimum yaitu datang kepada-Nya. Kemiripan
dengan Pelagius terletak pada faktor inisiatif manusia, bahwa orang berdosa
masih memegang inisiatif untuk pengampunan dosanya, dan Allah terikat dengan
kewajiban untuk mengampuninya. Demikianlah, dengan diinspirasikan via moderna,
Luther berusaha sekuat tenaga menjadi rahib yang saleh dan tekun. Dia pernah
sesumbar, "Kalau ada rahib yang bisa masuk surga karena kesalehannya,
pastilah aku!". Namun dalam hati kecilnya, Luther tetap gelisah dan takut
akan penghukuman Allah. Pada tahun 1508,
atas ajakan gurunya, Johannes von Staupitz, Luther menjadi pengajar bidang
Filsafat Moral di Universitas Wittenberg yang baru didirikan. Luther mengajar
sambil melanjutkan studi teologinya. Setahun kemudian, Luther menamatkan sarjana
teologinya. Pada tahun 1512, Luther berhasil meraih gelar doktor dalam bidang
teologi dari Universitas yang sama. Sebelumnya, pada tahun 1510, Luther
berkesempatan mengunjungi kota suci Vatikan. Awalnya, Luther begitu terpesona
dengan pusat pemerintahan gereja tertinggi ini. Diceritakan, saat dia tiba di
Roma, dia berlutut dan berteriak, "Aku menyapamu hai Roma yang suci,
sucilah engkau karena darah martir yang tertumpah bagimu!". Luther
berharap kunjungannya ke Roma meredakan kegelisahan hatinya, Namun setelah
sekian hari dia melihat kota suci, dia berbalik kecewa dengan segala praktik
kotor dan sikap keduniawian pejabat gereja. Pada perjalanan pulang, Luther
melukiskan kekecewaannya, "Biarlah segala yang suci tidak pernah ke Roma.
Karena di Roma segalanya diizinkan, kecuali orang jujur." Jabatan Luther
sebagai pengajar diperluas pada tahun 1511. Luther ditugasi mengajar
kitab-kitab spesifik. Dari kuliah-kuliah awal, tampak jelas Luther masih
memegang posisi via moderna. Seiring dengan waktu, ketika Luther mempersiapkan
kuliah kitab Roma (1515-1516), dia menemukan beberapa kesukaran besar dari
pandangan via moderna. Konsep "iustita Dei" (Kebenaran Allah) begitu
dominan dalam kitab Roma. Allah dengan kebenarannya yang sempurna akan
mengadili setiap orang. Bagaimana bila orang berdosa sesungguhnya tidak akan
pernah memenuhi standar keadilan Allah supaya dibenarkan, meskipun orang
berdosa dengan tulus mencari-Nya? Pertanyaan ini benar-benar menghujam ke
sanubari Luther. Pertanyaan ini bukanlah bersifat akademis belaka, namun
memberikan dilema batin yang luar biasa. Kebenaran Allah hanya akan
mendatangkan kutukan dan hukuman bagi orang berdosa, tanpa terkecuali dirinya.
Luther menuliskan, "Meskipun aku hidup tidak bercela sebagai seorang
rahib, namun aku yakin bahwa aku tetap orang yang berdosa dan hati nuraniku
sangat gelisah di hadapan Allah. Aku tidak percaya segala perbuatanku dapat
menyenangkan Allah." Pada suatu malam, sekitar akhir tahun 1514, dalam
suatu penggalian Alkitab pribadi di menara biara Wittenberg, Luther terpaku
pada tulisan Rasul Paulus dalam kitab Roma 1:16-17. Tulisan Paulus begitu
menggetarkan hatinya. Sepanjang malam dia tidak bisa tidur dan memikirkannya.
Setelah bergumul begitu berat dan dengan pertolongan Allah, Luther tiba pada suatu
pencerahan. Diduga kuat, bacaan Luther dari tulisan Agustinus tentang doktrin
anugerah turut mengambil andil dalam pengalaman eksistensial ini. "Orang
benar akan hidup oleh iman", begitu adagium dari doktrin anugerah yang
memberikan titik balik dari krisisnya. Luther mengingat ajaran Agustinus
tentang "Anugerah" yang pernah dibacanya. Doktrin
"Anugerah" yang pernah dituliskan Agustinus dalam buku
"Pengakuan-pengakuan" (Confessions) adalah salah satu ajaran penting
yang telah begitu lama dilupakan gereja. Sederhananya, doktrin ini meyakini
bahwa tidak ada satupun manusia berdosa mampu menyelamatkan dirinya. Hanya
Allah yang dapat mengampuni manusia dalam kedaulatan-Nya. Pengampunan inilah
yang disebut anugerah, suatu rahmat yang sebenarnya tidak layak diberikan
kepada kita. Bahkan iman pun adalah pemberian Allah, bukan usaha dan keputusan
manusia. Pencerahan ini membuat Luther sadar akan kekeliruan besar dari ajaran
via moderna dan ajaran gereja yang lain. Alkitab dan Agustinus telah
"melahirkan" Luther kembali. Dan perubahan ini tidak sekedar pada
dimensi rasional. Luther menyaksikan betapa segala kegelisahan hatinya lenyap,
"Seperti ada tertulis bahwa orang benar hidup oleh imannya. Ini membuat
aku seperti dilahirkan kembali. Kini aku seakan berdiri di depan pintu gerbang
surga dalam suatu terang yang baru. Kalau dulu aku membenci ungkapan 'Kebenaran
Allah', maka sekarang aku mulai mencintai dan memujinya sebagai ungkapan yang
paling manis..." Luther pun mulai melihat seluruh isi kitab suci dengan
sudut pandang yang baru. Di kemudian hari, doktrin "Pembenaran oleh
Iman" menjadi dasar dari seluruh bangunan teologi Luther. Peristiwa
pemakuan 95 dalil di pintu gereja Wittenberg sebenarnya konsekuensi dari
pandangan Luther yang telah diperbaharui beberapa tahun sebelumnya. Allah
mengubah pergumulan Luther yang pelik itu menjadi semacam "Reformasi"
dalam dirinya terlebih dahulu, sebelum dia memimpin gerakan Reformasi yang
lebih besar dan berat. PENJUALAN SURAT INDULGENSI DAN PENOLAKAN LUTHER Keberatan
Luther terhadap beberapa ajaran gereja saat itu sebenarnya sudah mulai sejak
dia mengerti doktrin anugerah (sekitar akhir 1514). Dalam risalah kuliahnya
setelah tahun 1515, Luther mulai menyoroti kesalahan ajaran seperti konsep
orang kudus dan Paus sebagai perantara. Namun kritik Luther ini hanya berkutat
sejauh dinding kampus. Sampai tibalah hari yang monumental itu, ketika Luther
memakukan 95 dalil di pintu gereja Wittenberg pada tanggal 31 Oktober 1517.
Tanggal bersejarah yang kini dirayakan sebagai Hari Reformasi. Pemakuan 95
dalil merupakan reaksi Luther atas penjualan surat pengampunan dosa
(indulgensi) yang berlangsung di hampir seluruh daratan Eropa. Penjualan surat
ini atas amanat Paus Leo X (1475-1521, berkuasa sejak 1513). Dia adalah seorang
Paus yang begitu fanatik dengan segala yang berbau seni Renaisans. Ambisinya
adalah membangun basilika Santo Petrus dengan arsitektur ala Renaisans yang
mewah dan mengisinya dengan aneka barang seni kelas tinggi. Sayangnya, keuangan
gereja yang morat marit tidak melapangkan ambisinya itu. Untuk menggalang dana
yang dibutuhkan, dia memerintahkan penjualan surat pengampunan dosa secara luas
dan intensif. Surat indulgensi adalah dokumen tertulis yang diterbitkan
otoritas gereja. Dengan membelinya (harganya berbeda-beda menurut status dan
golongan pembeli), maka seseorang dapat memperoleh jaminan penghapusan dosa,
baik dosanya di masa lalu dan yang akan terjadi di masa depan. Sampai ada
penulis yang mengejeknya sebagai "Surat Izin Berdosa" (license to
sin). Hebatnya lagi, surat ini pun bisa dibeli untuk "mengeluarkan"
jiwa orang yang telah mati dari "api penyucian" (purgatori). Semakin
banyak surat yang dibeli, maka semakin banyak jiwa orang tercinta yang telah
meninggal untuk dibebaskan. Surat ini
dijual terutama ke kalangan jemaat awam yang mayoritas terdiri dari petani,
tukang dan kaum jelata lainnya. Mereka begitu rentan dengan praktik ini. Di
samping kepolosan karena tingkat pendidikan yang rendah, mereka pun juga
percaya aneka tahayul seperti gambaran dunia kematian. Kondisi inilah yang
menjadikan mereka sebagai sasaran empuk penjualan surat indulgensi. Mereka
berbondong-bondong menjual segala kepunyaannya hanya untuk bisa membeli surat
indulgensi. Gereja bahkan seperti tidak lagi peduli bagaimana jemaat awam yang
miskin memperoleh uangnya, yang terpenting uang mereka masuk kas gereja. Ada
juga gereja lokal yang menolak praktik ini, seperti gereja di Spanyol yang
dipimpin Kardinal Ximenez. Tapi sebagian besar gereja lainnya menjadi
perpanjangan tangan Paus dalam penjualan surat indulgensi. Luther sendiri
terpicu oleh khotbah salah seorang utusan Paus, seorang pengkhotbah terkenal,
Johann Tetzel. Dengan berkeliling ke kota-kota di Jerman, Tetzel dengan
persuasif berusaha meyakinkan jemaat untuk membeli surat indulgensi. Kalimatnya
yang terkenal dan sering diucapkannya, "Saat uang logam bergemerincing
masuk kotak uang, maka jiwa dari api penyucian akan terbebaskan." Sangat
banyak jemaat yang terbujuk oleh Tetzel. Sekelompok jemaat Wittenberg yang
diasuh Luther pun sengaja pergi ke kota Juteborg dan Zerbst yang disinggahi
Tetzel. Merekalah yang ketika kembali ke Wittenberg menceritakan semuanya
kepada Luther. Penjualan surat indulgensi ini sangat bertolak dengan
pengampunan sebagai anugerah Allah yang diimani Luther. Ada dua kesalahpahaman umum
yang mesti diluruskan tentang reaksi Luther ini. Pertama, tema besar dalil
Luther adalah keberatannya terhadap praktik penjualan surat indulgensi. Luther
tidak mengajukan keberatan secara komprehensif terhadap ajaran gereja lainnya. Keberatan
Luther terhadap doktrin gereja lainnya baru muncul di kemudian hari. Kedua,
dalil-dalil Luther sebenarnya adalah bagian dari suatu ajakan sopan untuk
berdiskusi seputar masalah penjualan surat indulgensi. Pada masa Luther hidup,
adalah suatu kebiasaan bila ada topik yang hendak didiskusikan atau
diperdebatkan maka seseorang bisa memakukan undangannya di pintu gereja
Wittenberg. Bahkan dalam paragraf pengantar dalilnya itu, Luther menuliskan,
"Berdasarkan cinta kepada kebenaran dan keinginan untuk memeriksa masalah
ini, beberapa dalil di bawah ini untuk kita diskusikan... Siapapun yang tidak
bisa berdiskusi secara langsung, dipersilakan menuliskannya." Peristiwa
pemakuan dalil oleh Luther sesungguhnya bukan peristiwa yang dramatis, radikal
dan aneh untuk ukuran saat itu. Luther hanya mengajak berdiskusi, bukan
memberontak dari gereja. Tuduhan bahwa Luther mau memprovokasi jemaat juga
harus dibuang. Luther menuliskan dalilnya dalam bahasa Latin, yang tentunya
bukan bahasa pakai jemaat awam. Para ahli yakin bahwa ajakan diskusi Luther ini
ditujukan kepada kaum akademisi. Mulanya, reaksi otoritas gereja pun tidak terlalu heboh. Saat Paus Leo X
dilaporkan oleh Uskup Agung Albert, dia hanya menganggap Luther sebagai orang
yang kehilangan akal sehatnya dan sedang mabuk. Paus tidak terlalu
menggubrisnya ketika itu. Tidak lama kemudian, ada pihak-pihak tertentu yang
menyalin ulang, mencetak dan membagikan 95 dalil Luther ini keluar Wittenberg.
Luther sendiri tidak berada di belakang ini. Tanpa disadarinya, dia semakin
terkenal di kalangan jemaat beberapa kota di Jerman. Dengan berlandaskan
pandangan Luther, mereka mulai berani menolak membeli surat indulgensi. Pada
saat seperti inilah, otoritas gereja baru bereaksi keras. PERTEMUAN AUGSBURG Penyebaran
salinan 95 dalil bukan lagi dalam bahasa Latin tapi sudah diterjemahkan ke
bahasa Jerman. Pihak yang menerjemahkan sama misteriusnya dengan pihak yang
menyebarkannya. Penyebaran yang semakin luas ke pelbagai kota di Jerman sungguh
mengubah jalan hidup Luther. Dari rahib biasa dan guru di universitas yang
tidak terkenal (Wittenberg), kini namanya mulai mencuat dan mengundang
kontroversi. Tidak lama sejak penyebaran, reaksi keras pertama muncul dari
salah seorang sahabat Luther sendiri, John Eck. Eck adalah Profesor Teologi di
Universitas Bavarian (Ingolstadt). Kardinal Pirerias, advisor Paus Leo X, juga
mencap Luther sebagai bidat. Pada bulan Mei tahun 1518, Luther menuliskan risalah "Resolusi Tentang
Kebaikan Indulgensi". Dalam risalahnya, Luther menerangkan motivasinya dan
menjabarkan 95 dalilnya lebih terperinci. Luther menuliskan bahwa dia tidak
bermaksud menciptakan kebingungan dan konflik dalam tubuh gereja. Meskipun
Luther menjelaskan bahwa Paus sebagai manusia mungkin bisa bersalah namun
Luther masih menunjukkan respeknya terhadap Paus. Dalam surat pengantarnya,
Luther masih menyapa Paus sebagai "Bapa Suci". Luther menyatakan
kesediaannya untuk dihukum sesuai dengan peraturan gereja. Tampak jelas, dalam
risalah ini, Luther masih bersikap sangat hati-hati dan cenderung takut. Setelah Paus membaca risalah
Luther yang merupakan jawabannya atas kejadian Wittenberg, Paus meminta Luther
untuk segera ke Roma. Luther menduga kemungkinan sangat besar dia akan
dipenjara akibat tuduhan bidat dan tidak akan kembali ke Jerman. Bangsawan
Jerman (elektor) Frederick yang Bijaksana, bangsawan yang bersimpati dengan
Luther, membantu Luther dengan bernegosiasi kepada pihak gereja agar pertemuan
dengan Luther dilangsungkan di Jerman. Atas izin Paus, Kardinal Cajetan (Thomas
de Vio) mengadakan pertemuan dengan Luther di Augsburg, Jerman. Pada tanggal 7 Oktober 1518,
setahun setelah kejadian Wittenberg, Luther menghadap Kardinal Cajetan yang
mewakili Paus. Setibanya di Augsburg, Luther terkejut dengan dukungan rakyat
atas dirinya. Dukungan publik ini sungguh melahirkan keberanian baru dalam diri
Luther, yang sebelumnya tidak pernah ia miliki. Dalam pertemuan itu, Luther
dipaksa untuk menarik kembali 95 dalilnya dan mengaku salah. Luther yang kini
lebih percaya diri karena memperoleh dukungan rakyat, dengan tegas menolak
permintaan Kardinal Cajetan. Luther hanya mau mengubah pandangannya bila
Kardinal Cajetan bisa menunjukkan kesalahannya sesuai dengan Alkitab. Penolakan
Luther ini membangkitkan amarah Kardinal Cajetan. Dia menyebut Luther sebagai
"Cacing Sial". Setelah tiga hari berdebat, pertemuan berakhir tanpa
hasil yang diharapkan pihak gereja. Luther tetap pada pandangannya. Keberanian
Luther menentang otoritas gereja menambah rasa simpati rakyat yang secara
timbal balik juga menumbuhkan keberanian lebih besar dalam diri Luther. PERDEBATAN LEIPZIG Kalangan akademis pun terpecah dua, antara
yang mendukung dan menentang Luther. Dalam suatu pertemuan yang terkenal dengan
sebutan "Perdebatan Leipzig" pada bulan Juli 1519, untuk pertama
kalinya para akademisi secara formal memperdebatkan pandangan Luther. Debat ini
diikuti kedua pihak yang berseberangan. Dari pihak Luther diwakili oleh Andreas
von Carlstadt, seorang kolega Luther di Universitas Wittenberg yang merupakan
basis utama pro Luther. Sedangkan pihak penentang diwakili oleh John Eck.
Keduanya mulai berdebat seputar kehendak bebas manusia dan anugerah
Allah. Setelah beberapa hari berdebat, Luther menyusul ke Leipzig. Antara tanggal 4
sampai 14 Juli, Luther berdebat dengan Eck tentang pelbagai ajaran gereja masa
itu, antara lain: purgatori, indulgensi, dan sakramen pengakuan dosa. Salah
satu tema perdebatan yang menonjol adalah soal kedudukan Paus. Dalam perdebatan,
Luther sudah memposisikan dirinya lebih berani sebagai penentang konsep
kepausan dalam gereja. Luther bukan lagi hanya menolak absolutisme
(infabilitas) Paus. Bagi Luther, kedudukan Paus sama sekali tidak diperlukan
dan tidak sesuai ajaran Alkitab. Luther merujuk pada model gereja mula-mula.
Menurutnya, Kristus adalah kepala gereja itu sendiri, bukan Paus. Lebih jauh,
Luther mengemukakan bahwa sejak orang beriman ditebus maka sama sekali tidak
perlu ada mediator antara dia dan Tuhan. Setiap orang beriman bebas menghadap
Allah sendiri sebagaimana Bapa dan anak. Secara tidak langsung, Luther juga
menolak konsep orang suci (santo dan santa) sebagai mediator. Digambarkan bahwa perdebatan
ini "dimenangkan" oleh Eck karena sebagian besar kaum akademisi memihak
Eck. Namun pada tingkat jemaat awam, Luther dipandang sebagai pahlawan. Tentu
keberpihakan mereka kepada Luther bukan pertama-tama karena perkara teologis.
Mereka melihat Luther sebagai orang yang berjasa dalam menyadarkan mereka dari
eksploitasi otoritas gereja secara sosial ekonomis seperti yang terjadi pada
penjualan surat indulgensi. Kaum bangsawan pun mulai melirik Luther sebagai
rekan potensial dalam memperjuangkan kemandirian politis mereka dari unsur
pengaruh gereja seperti yang telah berlangsung berabad-abad. Bagi Luther sendiri,
Perdebatan Leipzig semakin mengukuhkan pandangannya terhadap pelbagai
kekeliruan gereja. Perdebatan tersebut justru lebih mempertajam pemikiran
Luther. Bila sebelum pertemuan Augsburg, Luther adalah seorang rahib yang
tunduk tidak berdaya pada otoritas gereja, maka sejak Perdebatan Leipzig,
Luther memandang dirinya sebagai pejuang kebenaran yang memang siap menghadapi
risiko. Luther sadar telah memulai suatu konflik besar dalam gereja dan akan
berlangsung sampai akhir hayatnya. PERJUANGAN DENGAN KERTAS DAN PENA Pasca Perdebatan Leipzig, Luther mulai sadar
bahwa perjuangan lisan saja tidak akan membawa dampak yang besar. Dia mulai
beralih ke tulisan sebagai modus perjuangannya. Mungkin Luther belajar dari
peristiwa penyebaran salinan 95 dalilnya yang berhasil merebut simpati rakyat
meskipun bukan dia yang menyebarkannya. Dengan tulisan, dia berharap bahwa
pandangannya semakin tersebar luas dan dapat lebih mudah dipahami oleh pembaca.
Pada tahun 1520, Luther menulis tiga risalah sekaligus: "Kepada Para
Bangsawan Kristiani" (Agustus), "Penahanan Babilonia" (Oktober)
dan "Tentang Kebebasan Manusia Kristiani" (Nopember). Luther
meletakkan dasar teologi Lutheran dalam ketiga tulisan ini. Dalam "Kepada Para
Bangsawan Kristiani", Luther mengajak para bangsawan untuk turut bekerja
sama memperbaharui gereja dan menolak dominasi politis gereja Roma. Luther
menganggap para bangsawan lebih mudah untuk mengadakan perubahan dalam gereja ketimbang
para rohaniwan. Di mata Luther, rohaniwan justru lebih resistan terhadap
perubahan karena unsur takut kehilangan jabatan dan kenyamanan status quo.
Luther juga menambahkan bahwa, dalam kasus khusus, orang luar (non rohaniwan)
bisa mendapat mandat khusus dari Allah untuk mengambil alih kepemimpinan gereja
sejauh gereja sudah tidak bisa mengkoreksi dirinya sendiri lagi. Luther tidak anti terhadap
kepemimpinan gereja sebagaimana yang sering disangkakan lawannya ketika dia
menolak kepausan. Justru Luther mengharapkan adanya pemimpin yang mampu membawa
gereja untuk kembali kepada kebenaran. Perbedaan Luther tentang kepemimpinan
gereja adalah, salah satunya: Luther setuju dengan kepemimpinan oleh jemaat itu
sendiri (priesthood of laity). Pemikiran Luther ini akan mempengaruhi John Knox
(1505-1572) yang menjadi perintis model pemerintahan gereja berbentuk
Presbiterian. Sedangkan
melalui "Penahanan Babilonia", Luther mengumpamakan umat gereja Abad
Pertengahan sebagai tawanan dari gereja. Begitu banyak ajaran gereja yang tidak
Alkitabiah namun dipaksakan kepada mereka. Sementara akses umat ke Alkitab
begitu dibatasi. Luther juga menolak lima sakramen kudus karena tidak sesuai
ajaran Alkitab. Luther hanya mengakui dua sakramen yaitu Perjamuan Kudus dan
Pembaptisan. Doktrin tentang anugerah kembali diulas Luther. Luther mengkaitkan
anugerah pengampunan dari Allah dengan kebebasan manusia beriman untuk berelasi
dengan Allah. Penjelasan Luther tentang doktrin anugerah akan berlanjut dalam
"Tentang Kebebasan Manusia Kristiani". Di samping ketiga tulisan
kunci itu, Luther pun menuliskan risalah singkat berjudul "Tentang
Kepausan di Roma" pada Juni 1520. Dalam tulisan ini, jelas-jelas Luther
menyebut Paus sebagai "Anti Kristus". Padahal dua tahun sebelumnya, dalam
suratnya kepada Paus, Luther masih menyebutnya "Bapa Suci". Semua
tulisan ini benar-benar menyulut kemarahan otoritas gereja Roma. MELANCHTHON DAN LUTHER Biografi Luther yang baik pasti menjelaskan
secara khusus tentang Phillip Melanchthon, sahabat karib dan rekan seperjuangan
Luther. Hubungan keduanya saling menguntungkan dan mempengaruhi. Luther bertemu
Melanchthon pada tahun 1518 di Universitas Wittenberg, ketika keduanya menjabat
sebagai pengajar. Mulanya, Luther tertarik dengan tulisan teologis Melanchthon
yang menunjukkan kemiripan dengan Luther. Luther pun mengenalkan Melanchthon
dengan teologinya. Sebaliknya, Melanchthon mengajarkan Luther bahasa Yunani.
Melanchthon adalah pengajar yang sangat populer di universitasnya. Kuliahnya
selalu dihadiri oleh banyak mahasiswa. Padahal, Melanchthon tidak menyandang
gelar Doktor Teologi seperti Luther. Dia juga bukan seorang rahib seperti
Luther. Dia adalah orang awam yang sangat cerdas dan mengasihi Tuhan. Walau keduanya mempunyai
kesamaan dalam hal teologi, tidak begitu dengan karakternya. Bila Luther
digambarkan sebagai pribadi yang berani, frontal dan terus terang (setidaknya
setelah pertemuan Augsburg) maka Melanchthon justru kebalikannya. Dia tidak
terlalu suka konflik langsung dan lebih diplomatis. Meskipun demikian, keduanya
membangun persahabatan yang erat dan abadi. Luther pernah memuji Melanchthon,
"Dalam karir saya sebagai pengajar, saya paling menghormati nasihat
Melanchthon." Sedangkan, Melanchthon dengan sentimental pernah menulis,
"Saya lebih baik mati daripada berpisah dengan orang ini (Luther)." Sejak tahun 1519, Melanchthon
telah menjadi sekutu Luther dalam memperjuangkan reformasi teologi. Bersama
Carlstadt, dia termasuk rombongan yang pergi ke Perdebatan Leipzig. Meskipun
secara resmi Melanchthon tidak ikut dalam perdebatan, namun dia terus membantu
Luther dalam memberikan referensi Alkitab untuk sebagian besar argumentasi
Luther ketika berdebat dengan Eck.
Melanchthon juga berjasa sebagai orang yang pertama kali mensistemisasikan
pemikiran reformasi yang dirintis Luther. Luther sendiri menjelaskan
pemikirannya tidak begitu sistematis dan tersebar ke beberapa tulisan. Pada
tahun 1921, Melanchthon menerbitkan buku ringkasan pemikiran reformasi, "Loci
Communes" (Theological Common-Place). Sebelum diterbitkan, Melanchthon
sempat meminta Luther memeriksanya. Luther begitu antusias dengan karya
Melanchthon. Alkisah, Luther berkomentar, "Mestinya buku ini masuk sebagai
kanon Alkitab." Topik utama pembahasan "Loci Communes" adalah
doktrin anugerah yang menjadi tulang punggung pemikiran teologis perjuangan
reformasi. SIDANG WORM</p> Perkembangan gerakan reformasi yang dipimpin
Luther semakin meningkat. Hal ini sungguh meresahkan Paus Leo X. Pada bulan
Juni 1920, Paus Leo X mengeluarkan "bull" (semacam surat Paus yang
bersifat peringatan). Dalam suratnya, Paus kembali menuntut Luther dan
kelompoknya menarik kembali segala pandangannya. Mereka didesak untuk kembali
kepada ajaran dari otoritas gereja. Sebagai ancaman, Luther dan kelompoknya
akan dikucilkan dari gereja (ekskomunikasi) jika tidak mengindahkan tuntutan
Paus dalam 60 hari. Paus juga memerintahkan semua jemaat untuk membakar
buku-buku tulisan Luther dan kawan-kawannya. Pada tanggal 10 Desember
tahun yang sama, Luther beserta para pengikutnya mengangkut semua buku teologi
terbitan gereja Roma dan juga surat peringatan Paus. Mereka membakar semuanya
di depan pintu gerbang timur kota Wittenberg. Sambil membakar semuanya, Luther
dan para pendukungnya saling bergandengan tangan dan menyanyikan lagu Te Deum
(sebuah pujian bagi Allah). Mereka digambarkan tidak takut sedikitpun terhadap
konsekuensi tindakan mereka. Tindakan membakar surat peringatan Paus sebelumnya
pernah dilakukan oleh bangsawan atau raja yang tidak takut terhadap Paus. Namun
baru kali itu, surat peringatan Paus dibakar oleh seorang rahib! Atas perbuatannya, Luther dan
pendukungnya dikucilkan dari gereja Roma. Namun hal ini belum memuaskan pihak
otoritas gereja yang tetap merasa perlu membungkam Luther dan pendukungnya.
Maka pada bulan Maret 1521, Luther dipanggil menghadap dewan gereja (diet) yang
sedang bersidang di kota Worm, sebelah barat daya Jerman. Dewan gereja ini
terdiri dari para rohaniwan yang bertugas membahas pelbagai isu kontemporer.
Tentu saja gerakan Reformasi oleh Luther menjadi agenda utama mereka. Sidang
ini diselenggarakan oleh Charles V, Kaisar Roma Suci. Sedikit penjelasan
konteksnya, waktu itu pusat pemerintahan gereja dibagi ke dua orang yaitu Paus
dan Kaisar Roma Suci. Paus dianggap sebagai kepala gereja. Sedangkan Kaisar
Roma Suci adalah semacam pelindung secara politis kedudukan Paus. Awalnya, Luther acuh tak acuh
dengan pemanggilannya. Namun atas desakan bangsawan Frederick yang Bijaksana,
Luther pun berangkat. Frederick ingin agar Luther memiliki kesempatan sekali
lagi untuk membela pemikirannya secara legal atas kesalahan gereja. Apalagi,
otoritas gereja menjamin keamanan Luther selama perjalanan dan persidangan.
Teman-teman Luther mengkuatirkan kepergian Luther ini. Mereka ingat bahwa
sebelumnya ada seorang Reformator bernama John Huss (1374-1415) yang pernah
dipanggil gereja untuk bertemu. Saat itu, Huss pun diberikan jaminan
keselamatan dirinya oleh pihak gereja. Namun yang terjadi malah Huss ditangkap
dan dihukum mati dengan cara dibakar hidup-hidup. Setelah menggumuli dengan
seksama dan didukung bangsawan Frederick, Luther pun pergi ke Worm. Ketika
menanggapi kecemasan para pendukungnya, Luther berkata, "Aku akan tetap
pergi ke Worm bahkan seandainya setan begitu banyaknya seperti banyaknya ubin
dan atap rumah." Ternyata Luther bukan saja aman selama perjalanan, namun dia disambut hangat
oleh jemaat gereja pada setiap kota transit yang disinggahinya. Setelah dua
minggu perjalanan, sampailah Luther di Worm. Sambutan orang banyak di Worm
tidak kalah meriahnya seperti yang diterimanya saat perjalanan. Luther menghadap sidang Worm
hanya dua kali. Tidak seperti yang diharapkan, Luther tidak diberi banyak
kesempatan untuk menjelaskan posisi teologisnya. Seperti pertemuan Augsburg,
Luther kembali dituntut untuk "bertobat" dari ajarannya sendiri dan
kembali ke ajaran gereja Roma. Otoritas gereja sengaja mengelak untuk berdebat
dengan Luther. Mereka berdalih bahwa doktrin gereja bukanlah untuk
didiskusikan. Luther dituduh sedang berspekulasi dengan doktrin gereja yang
telah menjadi tradisi berabad-abad. Pada hari kedua Luther menghadap, Luther
memberikan jawaban yang terkenal itu, "... kecuali kesalahan pandangan saya
diberitahu menurut Alkitab dan alasan yang jelas, maka saya tidak dapat dan
tidak mau mengubahnya. Di sinilah saya berdiri. Tidak ada lagi yang dapat saya
perbuat." Di luar
sidang, para teolog pun coba membujuk Luther untuk menganulir pandangannya.
Luther tetap pada posisinya agar segala kesalahannya harus merujuk dari Alkitab
sendiri. Jika tidak ada satu pun yang bisa membuktikan kesalahan Luther dari
Alkitab maka Luther sama sekali tidak mau berkompromi. Pada tanggal 25 April,
Luther diizinkan kembali ke Wittenberg. Sejak saat itu, otoritas gereja
menganggap Luther dan pendukungnya sebagai musuh gereja. Luther tidak mungkin
bisa dihentikan dengan cara ancaman dan peringatan lagi. Sementara itu, sidang
Worm yang masih berlangsung setelah Luther pulang kampung, memutuskan Luther
sebagai bidat dan bukan warga gereja. Keputusan ini tertuang dalam Edict of
Worms dan resmi ditandatangani oleh Charles V pada tanggal 25 Mei 1521.
PERSEMBUNYIAN
DI MENARA WARTBURG
Dalam
perjalanan pulangnya, Luther "diculik" oleh pegawai bangsawan
Frederick. "Penculikan" ini adalah inisiatif Frederick untuk
mengamankan Luther dari risiko yang mungkin muncul setelah perlawanan Luther
pada sidang di Worm. Pada masa itu, bila otoritas gereja telah menetapkan
seseorang menjadi bidat atau sesat maka jemaat yang fanatik merasa sah untuk
membunuh yang bersangkutan. Luther diungsikan Frederick ke menara Wartburg yang
terletak di pinggiran kota Eisenach. Selama di sana, kehidupan Luther ditunjang
oleh Frederick. Jadi tidak benar dengan pendapat umum bahwa Luther bersembunyi
ke menara Wartburg atas kehendaknya sendiri.
Luther
tinggal di menara Wartburg dengan aman hampir selama setahun. Selama di sana,
Luther menyelesaikan penerjemahan Alkitab ke bahasa Jerman dengan tujuan agar
jemaat awam pun dapat membacanya. Adalah Melanchthon, sang karib, yang konon
pertama kali mendorong Luther melakukan penerjemahan. Namun para ahli juga
percaya bahwa penerjemahan ini juga diinspirasikan oleh Erasmus, sahabat Luther
yang kerap bersuratan dengannya. Erasmus, yang walaupun seorang Katolik yang
taat, dia termasuk yang menganjurkan agar Alkitab bisa dibaca oleh siapapun
dengan bahasanya sendiri. Alkitab terjemahan Luther menjadi Alkitab berbahasa
Jerman pertama yang diterbitkan. Dalam dua bulan pertama sejak diterbitkan,
Alkitab ini terjual 5000 kopi. Suatu angka yang cukup fantastis pada masa itu
mengingat penerjemahan dan penjualan bebas Alkitab masih tergolong pelanggaran
hukum gerejawi.
REFORMASI PRAKTIKAL Selama Luther bersembunyi di menara Wartburg,
dia meminta kesediaan Melanchthon untuk memimpin jemaat Wittenberg yang
ditinggalkannya. Melanchthon bersedia menjadi gembala menggantikan Luther untuk
sementara waktu. Karena karakter Melanchthon yang kurang tegas dan tidak pas
sebagai pemimpin suatu gerakan yang baru, maka koleganya, Carlstadt, mengambil
alih kepemimpinan tersebut. Sebagaimana kita ketahui, Carlstadt adalah salah
satu pendukung Luther yang terlibat dalam Perdebatan Leipzig (1519). Karakter
Carlstadt lebih mirip dengan Luther. Dia sosok pemimpin yang berapi-api,
tangguh dan berani, bahkan cenderung lebih radikal. Selama menjadi gembala,
Carlstadt dengan ekstrim berniat merombak total praktik ibadah gereja terutama
liturgi dan simbol. Dalam khotbahnya, Carlstadt mengajak jemaat untuk membuang
segala sesuatu yang berhubungan dengan model ibadah gereja sebelum Reformasi
seperti patung-patung orang kudus (mirip anjuran Zwingli). Khotbah yang
provokatif ini disalahpahami jemaat sebagai ajakan untuk membenci dan memusuhi
orang-orang di luar gerakan Reformasi. Kabar ini sampai ke telinga Luther di
tempat persembunyiannya. Luther merasa sangat prihatin untuk secepatnya kembali
ke gerejanya. Para ahli percaya, saat Luther kembali ke Wittenberg itulah ia
memulai Reformasi dalam ranah praktikal, karena sebelumnya hanya menyentuh
bidang teologi (konseptual).
Setelah dirasakan aman dan seizin bangsawan Frederick (sang pelindung), maka
pada tanggal 6 Maret 1522, Luther kembali ke Wittenberg. Dalam rangkaian
khotbah pertamanya sejak kembali, Luther berpesan kepada jemaatnya untuk tetap
mengutamakan toleransi, kesabaran dan kasih, bahkan kepada siapapun yang
berseberangan. Luther coba mengkoreksi radikalisme yang sempat tertanam dalam
benak sebagian jemaatnya. Ia mengambil contoh dirinya sendiri sebagai orang
yang berjuang sekuatnya untuk memperbaharui gereja, namun tetap tidak
menggunakan kekerasan sedikitpun. Kalau Luther mau, sebenarnya dia bisa
memancing pertumpahan darah antara pendukung dan penolaknya, tapi justru dia selalu
berusaha agar hal ini tidak terjadi. Luther mengingatkan jemaatnya untuk tidak
menodai perjuangan suci ini dengan kebencian dan kemarahan kepada siapapun,
termasuk otoritas gereja Roma.
Pada tahun 1523, Luther mengedarkan tulisannya yang berjudul "Ibadah
Reformasi Bersama" (Formula Missae et Communionis). Dalam tulisannya,
Luther menyatakan bahwa tujuan reformasi ibadah bukan untuk membuang seluruh
ibadah pra Reformasi. Menurutnya, ada bagian-bagian ibadah pra Reformasi yang
baik dan tidak bertentangan dengan Alkitab. Yang perlu dibuang adalah
bagian-bagian yang nyata bertentangan dengan Alkitab. Pada tahun yang sama,
Luther menerbitkan "Tentang Penyembahan Ilahi". Luther menekankan
kembali agar setiap orang percaya membaca Alkitab, berdoa dan menyembah Allah
dalam devosi pribadi tiap hari.
Sebagai seorang pecinta musik, dia sangat menghargai kekayaan musik gerejawi.
Ia cukup produktif menggubah lagu untuk dinyanyikan jemaat. Luther juga memakai
teknik parodi yaitu membubuhkan syair sakral pada melodi lagu sekuler seperti
lagu rakyat. Demikian pula, banyak lagu gereja sebelumnya (Gregorian Chant)
diolah kembali dengan mengenakan syair yang baru. Lagunya yang terkenal
sepanjang masa seperti "Allah, Bentengku yang Kukuh" (Ein Feste Burg
ist Unser Gott). Pada tahun 1524, Luther dibantu Johann Walther menerbitkan
buku nyanyian (Wittenberg Gesangbuch). Dalam ibadah, Luther juga mengizinkan
pemakaian alat musik sejauh tidak mengganggu penyampaian pesan Alkitab/lagu
kepada jemaat. Berbeda sekali dengan Zwingli yang melarang pemakaian alat musik
apapun dalam ibadah gereja. Dalam pengantar "Missa Jerman" yang
dikarangnya pada tahun 1526, Luther tidak keberatan seandainya aneka alat musik
dipakai sejauh mendukung pemberitaan dan pendidikan Firman. PEMBERONTAKAN PETANI Selama Abad Pertengahan sampai zaman Luther
hidup, kalangan masyarakat yang paling menderita adalah para petani (dalam
jumlah yang lebih kecil termasuk tukang dan buruh). Mereka menjadi objek
eksploitasi para bangsawan yang dalam sistem feodal menjadi tuan tanah. Para
petani bekerja keras untuk keuntungan para bangsawan, sementara mereka sendiri
hidup dari imbalan uang yang pas-pasan. Para bangsawan juga tidak segan-segan
menjatuhi hukuman berat kepada para petani yang dianggap bersalah. Belum lagi,
mereka masih dipungut pajak baik oleh penguasa setempat maupun gereja. Bila
wabah penyakit merebak, mereka paling rentan menjadi korban karena kualitas
kehidupan yang rendah sebagai akibat dari kondisi ekonomi yang jauh dari memadai.
Aneka penderitaan dan ketidakadilan yang kerap mereka alami menjadi latar
belakang pemberontakan mereka (The Peasant's Revolt) yang meletus pada tahun
1524. Selain
dipicu oleh kondisi yang memperhatinkan, mereka mengaku bahwa pemberontakan
mereka justru diinspirasikan oleh ajaran Luther. Pandangan Luther tentang
kesamaan derajat manusia di mata Allah (equality) menguatkan kerinduan para
petani untuk memperjuangkan hak-haknya dan melawan "penindasan" para
bangsawan. Ketika Luther masih di menara Wartburg, pada tahun 1522, Luther
memang pernah menuliskan tentang ketidakadilan dan represi tuan tanah kepada
para petani. Luther meminta para tuan tanah agar tidak memakai kekerasan
terhadap para petani. Konon, tulisan ini sebenarnya ditujukan langsung kepada
para bangsawan, namun ternyata bocor dan diedarkan di kalangan petani. Maka
pada bulan Juni 1524, sekelompok besar petani turun ke jalanan di kota Waldshut
untuk memprotes perlakuan para bangsawan. Pada bulan Februari 1525,
para petani mengajukan petisi yang berisi 12 pernyataan (tuntutan) antara lain
kebebasan untuk menentukan rohaniwan bagi gerejanya sendiri, penghapusan
beberapa pungutan, hak untuk memanfaatkan tanah publik, pembayaran yang lebih
adil. Pada akhir petisi, disebutkan bahwa mereka bersedia untuk membatalkan
tuntutan mereka sejauh ditemukan bertentangan dengan Alkitab. Hal ini tentu
mereka pinjam dari kalimat Luther. Awalnya, Luther turut menyalahkan ketidakadilan dan kejahatan para bangsawan
sebagai penyebab utama pemberontakan para petani. Namun Luther pun tidak
menyetujui jika para petani memberontak dengan cara mogok kerja dan turun ke
jalan. Luther menuduh para petani keliru menerapkan semangat Reformasi. Para
petani salah bila membaca gerakan Reformasi teologis sebagai reformasi secara
politis juga. Menurut Luther, dalam kasus para petani, perjuangan yang
diperlukan adalah menyadarkan para bangsawan secara persuasif. Seandainya
dibutuhkan waktu yang lama sebelum para bangsawan sadar, Luther menganjurkan
para petani untuk tetap bertahan dalam penderitaan mereka sama seperti Kristus
yang dengan tabah mengalami siksaan. Selama tahun 1524, aksi protes ini secara umum masih berlangsung damai. Luther
terus berupaya untuk meredam aksi para petani ini. Pelbagai pertemuan antara
petani dan bangsawan telah berlangsung beberapa kali, namun tidak membuahkan
kesepakatan di antara mereka. Hingga pada awal tahun 1525, aksi ini mulai
berkembang menjadi aksi yang brutal. Aksi juga semakin luas yang melibatkan
jutaan petani yang meliputi sepertiga wilayah Jerman. Pada awal tahun 1525,
hampir 40 biara gereja Roma dan kastil dirusak serta dibakar oleh para
pemberontak. Salah satu tokoh pemberontakan petani ini adalah Thomas Munzer,
salah satu tokoh penting dalam gerakan "Anabaptis", sempalan dari
gerakan Reformasi yang lebih radikal dan militan. Ketika aksi para petani mulai
menjurus pada kekerasan, Luther lebih giat menuntut perhatian para bangsawan
atas kondisi para petani. Luther juga menuliskan pamflet "Nasihat untuk Berdamai"
yang ditujukan kepada kedua pihak. Luther mendesak bangsawan Frederick untuk
mengadakan pertemuan akbar antara kedua pihak. Namun kekerasan aksi para petani
yang semakin meningkat dalam tempo singkat sangat meresahkan Luther. Kerusuhan
di mana-mana mulai muncul sebagai ekses pemberontakan para petani. Dalam kekecewaannya yang
berat karena tindakan anarkis para petani, Luther berbalik mendorong para
bangsawan untuk menegakkan ketertiban masyarakat kembali. Dalam suratnya kepada
para bangsawan, Luther menyebutkan para petani sudah "dirasuki"
Iblis, dan para bangsawan wajib menertibkannya kembali. Luther menyebut para
bangsawan dan penguasa sebagai "Pedang Allah di Dunia". Para
sejarawan masih berdebat, apakah surat Luther ini bersifat anjuran langsung
atau sekedar penggambaran Luther akan apa yang mungkin terjadi (foretold),
namun pada kenyataannya para bangsawan akhirnya mengambil tindakan yang lebih
koersif. Pada tahun itu juga, para bangsawan menumpas pemberontakan para
petani. Dalam pertempuran antara keduanya di Frankenhausen, sekitar enam ribu
petani tewas dibunuh. Ditaksir duaratus ribu lainnya tewas mengenaskan di
kota-kota lainnya. Tragedi ini sangat memukul Luther. Pada masa-masa akhir pemberontakan para
petani, Luther masih memohon kepada para bangsawan agar mengampuni kesalahan
para petani, dan tidak membunuhnya. Peristiwa ini mengubah konstelasi pendukung
Luther. Bila sebelumnya, para petani menganggap Luther sebagai inspirator
perjuangan mereka (meski Luther pasti membantahnya). Maka setelah peristiwa
ini, sebagian besar petani mulai menuduh Luther sebagai oportunis. Sebaliknya,
Luther pun menyesalkan para petani yang telah mengkhianati hakikat gerakan
Reformasi. Di kota-kota terutama sebelah selatan Jerman, para petani yang semula
adalah pengikut Luther mulai meninggalkannya. Mereka pindah ke gerakan religius
radikal seperti "Anabaptis" yang menjamur pada masa itu. PERSELISIHAN ANTARA REFORMATOR Perselisihan Luther dengan tokoh Reformator
lain yang patut dicatat adalah antara dia dengan Erasmus dan Zwingli.
Perselisihan ini sendiri timbul dari ketidaksepahaman dalam penafsiran teologis
antartokoh itu. Dalam kasus Erasmus, meskipun Erasmus satu visi dengan Luther
tentang pembaharuan gereja namun dia menentang gerakan Luther yang mau
melepaskan diri dari gereja Roma. Menurut Erasmus, pemisahan diri itu hanya
memulai suatu perpecahan gereja yang hanya merugikan tubuh Kristus
sendiri. Pada
tahun 1524, Erasmus mengkritik Luther dalam tulisan "Kebebasan Kehendak".
Erasmus menolak pandangan Luther bahwa manusia berdosa sama sekali tidak bisa
berbuat baik. Sebagai balasan, setahun kemudian Luther menuliskan
"Kehendak yang Terbelenggu". Sayangnya, balasan Luther ini justru
tidak secermat tulisannya yang lain. Beberapa kelemahan argumentasi dapat
ditemui dalam tulisan ini. Sebenarnya dia berusaha untuk membela doktrin
Predestinasi namun contoh-contoh yang diberikannya terlalu jauh dan bernuansa
"fatalisme" di mana soal makan dan minum teh saja manusia tidak mempunyai
otonomi kehendak untuk memilih. Perselisihan kedua yaitu dengan Zwingli, pemimpin gerakan Reformasi Swiss. Pada
tahun-tahun pertama, gerakan Reformasi Swiss dan Jerman tampak rukun dan saling
mendukung. Namun semakin spesifiknya ajaran Luther terutama tentang doktrin
Perjamuan Kudus, tidak pelak lagi memunculkan pertentangan antarmereka. Semula
mereka kompak menolak doktrin Transubstansi dari gereja Roma bahwa roti dan
anggur secara substansial "berubah" menjadi tubuh dan darah Kristus,
meskipun penampakan lahiriah masih berwujud roti dan anggur. Luther menyerang
filsafat Aristotelian yang membedakan adanya substansi dan akseden
(karakteristik empiris) sebagai dasar doktrin ini. Luther sama sekali tidak
menolak kehadiran Kristus secara fisik, namun dia tidak menyukai cara gereja
dalam menjelaskannya. Sementara alasan Zwingli bahwa inkarnasi Allah hanya
terjadi sekali dalam sejarah dan tidak mungkin Allah akan mengambil bentuk
fisik sebagai roti berulang kali (impanatus). Di kemudian hari, Luther
menawarkan doktrin "Kehadiran Nyata Kristus" (sekarang disebut
consubstansi) dalam ekaristi. Ini adalah salah satu ajaran Luther yang paling
sulit dimengerti sekaligus penyebab keretakan besar antara dia dengan Zwingli.
Bagi Luther, kehadiran Kristus harus berpusat pada kalimat-Nya sendiri dalam
Matius 26:26, "Inilah tubuhku" (hoc est corpus meum). Luther
menafsirkan harfiah akan perkataan Kristus itu, bahwa Kristus secara fisik
hadir dalam roti dan anggur. Persis dengan doktrin Transubstansi namun dengan
membuang cara berpikir Aristotelian. Sedangkan, Zwingli mengartikan perkataan Kristus secara figuratif. Bahwa roti
dan anggur bukanlah tubuh dan darah Kristus secara identik. Namun roti dan
anggur adalah significat (simbol) dari pengorbanan Kristus. Allah sendiri tidak
hadir secara fisik dalam roti dan anggur. Justru dengan logika pembalikan,
Zwingli yakin bahwa perayaan ekaristi merupakan peringatan akan ketidakhadiran
Kristus secara fisik. Sebagaimana Kristus pernah mengatakan, "...perbuatlah
ini sebagai peringatan akan Aku." Secara implisit, Kristus justru mau
mengatakan bahwa ketika Dia sudah tidak lagi hadir secara fisik, maka orang
beriman wajib memperingati-Nya melalui ekaristi. Polemik keduanya berlangsung
gencar, sejak kritik pertama Zwingli pada tahun 1527 terhadap tulisan Luther
"Khotbah Tentang Sakramen Tubuh dan Darah Kristus". Para teolog juga
terbagi dua antara dua posisi berbeda ini. Beberapa tahun kemudian, Luther
lebih keras mengecam Zwingli dalam tulisan "Pengakuan Tentang Perjamuan
Kudus". Perdebatan ini mengancam keharmonisan gerakan Reformasi. Atas
prakarsa bangsawan Philip dari Hesse, Luther dipertemukan dengan Zwingli di
Marburg pada tahun 1529. Hadir pula tokoh Reformator seperti Martin Bucer,
Melanchthon dan Oecolampadius. Kelak pertemuan ini dikenal dengan Percakapan
Marburg (Marburg Colloquy) dan dipercaya sebagai konsili Protestan pertama. Setelah beberapa minggu
berdebat, kedua Reformator besar itu menyepakati banyak hal seperti yang
tertuang dalam 15 artikel, antara lain tentang doktrin Trinitas, inkarnasi
Kristus, sifat Allah dan kemanusiaan Kristus, dosa asal, doktrin pembenaran
karena iman, karya Roh Kudus, sakramen pembabtisan, peran perbuatan baik dalam
kehidupan Kristiani, dan sebagainya. Hanya pada artikel terakhir, jurang
perbedaan mereka sama sekali tidak bisa dijembatani yaitu perihal Perjamuan
Kudus. Memang ada beberapa aspek Perjamuan Kudus yang mereka sepaham seperti
pemberian roti dan anggur kepada jemaat. Tapi Zwingli tidak menerima kehadiran
fisik Kristus dalam ekaristi sebagaimana diyakini Luther. Untuk artikel
terakhir ini, mereka "sepakat untuk tidak sepakat". Agar polemik
tidak meluas dan merugikan perjuangan mereka, maka mereka berjanji tidak saling
menyerang tentang hal ini. SIDANG-SIDANG TERAKHIR Sebelum gerakan Reformasi merebak, kekuasaan
politis gereja Roma mencakup sekitar 300 teritori kecil dan besar, khususnya di
Eropa Barat dan Tengah. Hampir semua penguasa daerah tunduk kepada otoritas
gereja Roma. Kondisi ini berubah drastis sejak 20 tahun pertama gerakan
Reformasi Luther muncul. Dibarengi semangat lokalisme yang menguat di kalangan
elit politik, maka mulailah sejumlah besar daerah memutuskan hubungan dengan
otoritas gereja Roma. Banyak daerah mengklaim dirinya sebagai teritori Lutheran
dan bukan lagi Katolik Roma. Dan tampaknya, hal ini akan terus berkembang.
Kondisi ini sangat mencemaskan otoritas gereja Roma. Charles V kembali
berinisiatif mengadakan sidang untuk menghambat gerakan Reformasi ini terutama
di kalangan para bangsawan. Pada tahun 1526, sidang digelar di kota Speyer.
Agenda sidang terutama untuk mencapai konsesi antara para elit politik. Mana
yang memilih Katolik dan mana yang memilih Lutheran. Setiap elit politik diberi
kebebasan untuk memilih. Sebagian besar elit politik di Jerman Utara memilih
Lutheran sebagai "agama resmi" mereka yang baru. Charles V bermaksud
menggertak para elit politik yang memilih Lutheran. Charles V mengira dengan
adanya pertemuan di antara para elit politik ini, mampu mengecilkan hati kubu
Luther. Ternyata, hasil sidang malah sebaliknya. Elit politik Lutheran justru
menganggap sidang ini sebagai kesempatan yang baik untuk mereka mengambil
posisi secara formal. Mereka malah menyangka sidang ini sebagai cerminan sikap
otoritas gereja yang melunak dan mentoleransi ajaran Luther. Hasil yang tidak
sesuai harapan ini, mendorong Charles V mengadakan sidang kedua di kota yang
sama pada tahun 1529. Pada sidang kedua ini, Charles V menguatkan kembali keputusan otoritas gereja
yang menyebutkan Luther dan pengikutnya sebagai sesat. Charles V juga
memberikan ultimatum kepada elit politik yang masih ragu untuk segera kembali
ke Katolik Roma, dan benar-benar melarang ajaran Luther masuk daerahnya.
Intervensi politis sepihak ini dan inkonsistensi dari sidang pertama diprotes
oleh beberapa bangsawan seperti Elektor dari Saxony, Gubernur dari Brandenburg,
dan lainnya. Mereka yang menentang keputusan sidang kedua ini disebut sebagai
kelompok "Protestan". Dari sinilah asal mula istilah
"Protestan". Protestan bukanlah berarti "kembali kepada
Alkitab" (pro testanum) sebagaimana yang sering kita kira. Setahun kemudian, tahun 1930,
kembali sidang digelar di Augsburg. Luther sekali lagi dipanggil untuk
menghadap. Namun karena situasi tidak menentu dan sangat membahayakan dirinya
maka Luther diwakili oleh Melanchthon. Dalam sidang inilah, Melanchthon merumuskan
dan membacakan untuk pertama kalinya Pengakuan Iman Augsburg, yang kemudian
hari menjadi pengakuan iman gereja-gereja Lutheran. Pengakuan ini disusun oleh
Melanchthon berdasarkan tulisan-tulisan Luther dan beberapa teolog dari
Wittenberg. Charles V dan sidang menolak pengakuan iman tersebut. Bagi mereka,
pengakuan iman itu adalah kristalisasi dari ajaran Luther yang justru dilarang
gereja selama ini. Pengakuan iman ini terdiri dari dua bagian besar. Pertama berisikan 21
pernyataan yang merupakan ringkasan doktrin dan kepercayaan Protestan. Pada
bagian akhir memuat kritik terhadap pelbagai ajaran dan praktik gereja Roma
seperti peran pasif jemaat dalam ibadah, kewajiban hidup selibat (tidak
menikah) bagi rohaniwan dan lainnya. Sebelumnya, Luther sendiri telah menikah
dengan Catherine von Bora, mantan biarawati, pada tahun 1525. Mereka mempunyai
enam orang anak. Salah
satu efek sidang-sidang terakhir adalah ketegangan antara Luther dan
pendukungnya tidak lagi sebatas orang awam/rohaniwan dengan otoritas gereja.
Namun antarelit politik juga terbagi. Hubungan mereka tidak
"seharmonis" dulu. Charles V pun mulai menggalang kekuatan politik
dari sesama sekutunya untuk mulai serangan militer terhadap elit politik
Lutheran. Kabar ini diketahui oleh para bangsawan Lutheran. Mereka pun
menyatukan diri untuk menahan serangan Charles V. Atas prakarsa Philip dari
Hesse dan Elektor John dari Saxony, para bangsawan Lutheran berkumpul di
Schmalkalden pada bulan Desember 1530. Para bangsawan dari sebelas kota sepakat
untuk mendirikan aliansi militer. Mereka pun mengadopsi Pengakuan Iman Augsburg
sebagai pengakuan yang resmi. Yang lebih penting lagi, mereka mengeluarkan
pakta bersama yang berbunyi bila salah satu kota diserang oleh Charles V maka
kota lainnya akan turut membantu. Tapi penyerangan bangsa Turki ke Austria, membuat Charles V mengurungkan niat
untuk menginvasi kota-kota Lutheran. Sebaliknya, Charles V menghimbau agar para
bangsawan Eropa melupakan sementara konflik di antara mereka untuk bersatu menahan
serangan bangsa Turki. Charles V terpaksa melunakkan sikapnya agar bangsawan
Lutheran mau membantunya. Dia mengeluarkan dekrit tentang kebebasan beragama
serta perjanjian perdamaian antara Katolik dan Protestan. Untuk sementara
waktu, hal ini meredam konflik Katolik dan Protestan. </p> </p> TAHUN-TAHUN TERAKHIR LUTHER</p> Sepuluh tahun terakhir dalam hidupnya ditandai
dengan kemunduran fisik maupun mental. Kira-kira sejak tahun 1538, Luther
mengidap penyakit kencing batu, gangguan jantung dan pencernaan. Pada tahun
1541, Luther kena infeksi telinga dan tenggorokan. Penyakitnya ini bukan hanya
menggerogoti fisiknya, namun juga menciptakan depresi yang dalam. Luther tidak
lagi produktif dalam menghasilkan tulisan, kalaupun ada, tulisannya pada masa
ini tampak lebih keras. Luther tidak sungkan memasukan hujatan dalam
tulisannya. Puncaknya pada tahun 1545, Luther menuliskan risalahnya yang paling
sarkastis, "Menentang Kepausan Roma yang Didirikan Setan". Secara
isi, tidak ada yang baru dari pemikiran Luther, namun cara penyampaiannya yang
amat vulgar. Kepahitan hidupnya bertambah dengan meninggalnya, Magdalena Luther, anak
perempuannya yang menjadi korban wabah penyakit di Wittenberg. Wabah ini juga
banyak merenggut jemaatnya. Kesedihan di mana-mana mempengaruhi jiwa Luther
menjadi semakin tertekan. Dalam keadaan depresi, Luther sempat berdelusi bahwa
akhir zaman sudah dekat. Dia merasa banyak warga Wittenberg sudah kehilangan
imannya. Luther mengalami delusi ini sampai beberapa tahun. Pada tahun 1545,
Luther tiba-tiba ingin keluar dari Wittenberg karena merasa tidak nyaman. Tapi
niatnya ini dihalangi oleh pihak universitas dan Melachthon, karena mengingat
kondisi fisik Luther yang buruk dan usianya yang sudah lanjut. Pada
Januari 1546, Luther dipanggil ke kota Eisleben untuk menjadi mediator
perselisihan dua orang bangsawan dari Mansfield. Persis sebulan, setelah tiba
di sana, tepatnya tanggal 17 Februari, Luther meninggal karena gagal jantung.
Pada tanggal 22 Februari, jenazah Luther kembali ke Wittenberg dan dikebumikan
di gereja yang sama ketika dia memulai gerakan Reformasi. Luther wafat dalam
usianya yang ke-63.
0 comments:
Posting Komentar